Kamis, 08 Januari 2015

artikel film

Jejak Sinema Batam Empat Tahun Terakhir
Dalam beberapa tahun terakhir Kota Batam tercatat telah menghasilkan karya Film layar lebar yang bisa disaksikan ke masyarakat umum sebagai hiburan. Jika tahun 2011 ada film Tatsumi yang dibiayai oleh pemerintah Singapura dan dikerjakan di Kinema Frameworks Studio yang berada di Nongsa serta banyak memenangkan penghargaan diberbagai Festival film dunia, kemudian di tahun 2012 ada Laskar Anak Pulau sebuah film independent yang berhasil mendatangkan penonton yang cukup banyak di area Kepulauan Riau.
Di tahun 2013 sendiri ada tiga Film panjang dirilis dari awal tahun hingga penghujung tahun. Diawal tahun tepatnya 3 Januari 2013 kita disuguhi film bergenre Horror/Thriller Dead Mine yang didanai oleh HBO Asia dan Infinite Framework Studio Batam, film ini sendiri berhasil menembus pasar internasional dan membuktikan kepada dunia bahwa Batam sangat kondusif untuk lokasi pembuatan film. Selang lebih kurang satu bulan setelah film Dead Mine, film bertajuk True Heart dirilis 7 Februari 2013. Film yang hampir seluruh pengambilan gambarnya di kota Batam ini, merupakan karya sutradara Ismail Sofyan Sani seorang sutradara kawakan yang telah menghasilkan beberapa film dan serial televisi sejak awal 1990an. True Heart ditulis ceritanya oleh penulis film yang juga sudah berpengalaman yaitu Armantono (Dibawah Lindungan Ka’bah, Hafalan Shalat Delisa). Film ini mendapat dukungan dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Pemerintah Kota Batam, dan Kepolisian kepulauan Riau dalam rangka mencegah dan memerangi peredaran narkoba dikalangan masyarakat.
Sementara film produksi Batam yang ketiga di tahun 2013 lalu adalah sebuah film drama berjudul Nyanyian Kecil Untuk Ibu dirilis tanggal 5 November 2013. Film ini disutradarai oleh sineas asal Batam yaitu Joni Astin Ariadi, dan diproduksi oleh rumah produksi D’B Productions. Bercerita tentang kemajemukan dan perjuangan Ibu yang penyayang dan penuh pengertian untuk mampu menyatuhkan anak-anak Batam dengan berbagai status sosial dan beragam agama. Sedangkan di tahun 2104 ini tercatat baru satu film panjang independent yang dirilis ke publik pada 10 Februari silam yaitu film Doa Dibawah Palungan dengan sutradara Dedy Syahputra.
Jumlah produksi film di Batam yang ada setiap tahunnya ternyata tidak diimbangi oleh animo masyarakat Batam untuk berbondong-bondong menyaksikan hasil karya produksi tempatan. Ini mungkin karena kurangnya promosi di masyarakat baik oleh pembuat film maupun masyarakat sendiri yang masih belum mampu mencintai hasil karya daerah sendiri. Selain itu juga, salah satu kendala lainnya adalah minimnya infrastruktur berupa ruang eksebisi (bioskop) yang hanya terdapat di pusat kota Batam saja, serta dukungan dari pemerintah yang masih belum maksimal dalam pengembangan dan kemajuan perfilman Batam.
Dukungan Pemerintah
Sebenarnya apabila dukungan dari pemerintah Batam bisa maksimal dengan menganggarkan sebagian dananya untuk kemajuan perfilman daerah, maka baik secara langsung atau tidak langsung dapat memberikan kontribusi dalam bentuk promosi pariwisata kepada masyarakat serta akan menggairahkan iklim perfilman daerah. Dan tentunya juga menggairahkan pihak swasta lainnya yang ingin berivestasi di bidang industri perfilman.
Cara seperti ini sebenarnya telah dijalankan oleh pemerintah daerah Sumatera Selatan yang setiap tahunnya selalu mengagendakan sebuah bentuk kegiatan dibidang perfilman baik mendanai pembuatan film (Dapunta, Gending Sriwijaya), mengadakan event Festival Film maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Bisa dilihat sekarang Palembang atau Sumatera Selatan pada umumnya semakin dilirik dalam peta perfilman tanah air. Event-event besar seperti Festival Film Indonesia (FFI) maupun berbagai workshop tentang film marak diadakan disana. Memang tidak dipungkiri Batam juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 2010 lalu. Namun dalam penyelenggaraannya bisa dibilang tidaklah sesukses daerah lain karena menyeret banyak kasus pada saat itu. apalagi panitia penyelenggara pada waktu itu belum terlalu mumpuni.
Tidak mau membuka lembaran kelam penyelanggaraan FFI 2010 silam, pemerintah Batam atau Kepri masih bisa memulai dengan lembaran baru dalam membangun industri perfilman di daerah yang cukup strategis ini. Pemerintah Kota Batam seharusnya sudah memulai memikirkan diversifikasi industri tidak melulu mengandalkan industri manufaktur dan galangan kapal saja tetapi juga harus melihat potensi industri perfilman dan industri kreatif lainnya. Kerena prospek kedepan yang menjanjikan dan cakupan potensi pendapatan daerah sangat besar dari industri kreatif ini.
Kontribusi pemerintah bisa juga dalam bentuk intensif-intensif tertentu yang bisa menggalakkan lagi pelaku industri kreatif khususnya film. Mungkin dengan cara memberi kemudahan perijinan atau pengurangan pajak tertentu bagi para pembuat film baik dari tanah air maupun dari luar negeri yang membuat film di Batam.  Pemerintah Batam juga seharusnya bisa lebih aktif lagi dalam menjaring para investor dalam industri perfilman dengan cara mempromosikan keluar daerah atau luar negeri. Dengan mengandalkan potensi sumber daya alam diwilayah Batam dan sekitarnya, pemerintah daerah juga bisa menjadikan modal sebagai bahan promosi untuk lokasi shooting agar industri perfilman Batam semakin berkembang dan maju.
21
Cinema 21 di Nagoya Hill Mall Batam
Peluang Dan Tantangan
Dengan memanfaatkan momentum pergantian pemerintahan baru yang sedianya akan mengembangkan industri kreatif di tanah air sebagai salah satu penggerak ekonomi negara. Tentu saja pemerintah Batam diharapkan lebih bisa menangkap peluang dan proaktif menggerakkan bidang-bidang strategis di industri kreatif ini. Industri perfilman sendiri adalah salah satu bentuk industri yang cocok dikembangkan di Batam.
Kenapa Batam dinilai cukup cocok bermain didalam industri ini? Posisi strategis pulau Batam yang berdekatan dengan negara Singapura dan Malaysia tentunya menjadi modal penting. Kawasan segitiga emas ini merupakan pintu gerbang dunia, dimana banyak pelaku bisnis melirik ke kawasan ini karena akses yang mudah jika dijangkau dari manapun. Sehingga ini bisa mempermudah untuk mengenalkan produk-produk budaya kita kepada dunia. Disamping itu juga Batam bisa memanfaatkan posisi Singapura sebagai negara maju dalam mengakses kelengkapan barang penunjang industri seperti alat-alat canggih yang dibutuhkan dalam pembuatan film.
Dengan posisi Batam yang memang cukup strategis bisa jadi sebuah peluang yang terbuka lebar dalam industri kreatif jika mampu memanfaatkannya. Pelaku industri kreatif Batam bisa lebih meningkatkan lagi kolaborasi dengan pelaku industri Singapura atau negara tetangga lainnya agar bisa bersama-sama berkembang seperti yang telah dilakukan oleh salah satu perusahaan animasi didaerah Nongsa yaitu Kinema Studio.
Sejauh ini sudah banyak juga komunitas-komunitas film di kota Batam yang mulai menunjukkan eksistensinya. Namun sayang sebagian besar dari mereka masih berdiri sendiri dan belum terkoordinasi dengan baik. Sehingga selain butuh bimbingan dari orang-orang yang berpengalaman, para penggiat perfilman Batam juga sangat perlu dukungan penuh dari berbagai pihak untuk bisa berkembang dan menjadi modal tersendiri dalam pengembangan industri kreatif ini. Wadah seperti festival-festival film baik skala besar maupun skala independen sangat dibutuhkan oleh komunitas-komunitas film dibatam sebagai bentuk apresiasi bagi mereka. Dan wadah saling bertukar ilmu dan diskusi diantara mereka.
Tantangan Pemerintah Batam dalam mengembangkan industri sinema salah satunya juga karena letak geografis Batam sendiri. Dalam menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Batam akan menjadi garda depan bagi Indonesia untuk menghadapi gempuran produk-produk asing baik barang maupun jasa, terutama datang dari kawasan ASEAN. Jika masyarakat Batam tidak mempunyai daya saing tinggi maka akan menjadi penonton dan pemakai produk-produk negara lain tanpa menghasilkan sesuatu. Demikian juga dengan industri kreatif yang dimiliki oleh masing-masing negara anggota ASEAN.
Seperti diketahui Singapura dan Malaysia sudah merencanakan dengan matang kemana arah industri kreatif mereka akan dibawa. Ini bisa dilihat dengan keseriusan mereka dengan banyak memberi insentif bagi para pembuat film. Mereka juga mempersiapkan tempat untuk studio-studio film skala besar. Seperti Malaysia dengan Pinewood Iskandar Malaysia Studio di kawasan Iskandar Johor Bahru, kemudian Singapura juga tak kalah  dengan Lucas Films Studio yang merupakan cabang dari Lucas Films Amerika milik sutradara kawakan pembuat Saga Star Wars, George Lucas.
Dari kesiapan-kesiapan negara tetangga dalam menghadapi pasar bebas ASEAN dibidang Film, apakah Batam sebagai daerah yang berhadapan langsung dengan mereka mampu mengimbangi gelora dikawasan ini. Ataukah hanya menjadi penonton dan pasar bagi produk-produk negara lain? Kita sendiri yang akan menentukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar